Pages

Monday, May 18, 2015

Dakwah

jikalau diibarat
sebiji kelapa kulit dan isi tiada serupa
Janganlah kita bersalah sapa

tetapi beza tiadalah berapa
sebiji kelapa
ibarat sama


Lafaznya empat suatu ma’ana
di situlah banyak orang
terlena           
sebab pendapat kurang
sempurna 
kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat
tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma’rifat

Abdurrauf begitulah nama yang dilekatkan kepada anak lelaki itu. Dalam pertumbuhannya kelak ia dikenal sebagai ulama. Dan orang-orang dengan hormat memanggilnya dengan sebutan Syeikh Abdurrauf. Namanya yang singkat dan sederhana ini kadang-kadang dilengkapi dengan  Syeikh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Oleh kharisma yang dimilikinya kemudian orang memberi sejumlah gelar seperti, Syeikh Kuala, Syeikh di Kuala atau Ciah Kuala dan Tengku Ciah Kuala. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Abdurrauf van Singkel. Sebutan ini semua ada sebabnya. Disebut Syeikh Kuala karena Syeh Abdurrauf pernah menetap  dan mengajar hingga wafatnya  dan dimakamkan di Kuala sungai Aceh. Dan disebut Abdurrauf van  Singkil karena Syeikh Abdurrauf lahir di Singkel 1593 M), Aceh Selatan.

Dimasa  mudanya mula-mula  Abdurrauf belajar  pada ‘Dayah Simpang Kanan’ di pedalaman Singkel yang dipimpin Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke Barus di ‘Dayah Teungku Chik’ yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah Fansuri.

Syeikh  Abdurrauf sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi Syeikh Shamsuddin as-Sumaterani. Dan setelah Syeikh Syamsuddin  pindah ke Banda Aceh lalu diangkat Sultan Iskandar  Muda sebagai Qadhi Malikul Adil, Syeikh Abdurrauf mendapat  kesempatan untuk  pergi belajar ke negeri Arab. Selama belajar di luar negeri, 19 tahun Syeikh Abdurrauf telah menerima pelajaran dari 15 orang ulama.
Disebut pula Syeikh Abdurrauf telah berkenalan dengan  27 ulama  besar  dan 15 orang sufi termashur. Tentang  pertemuannya dengan  para  sufi, ia berkata, ‘Adapun segala sufi  yang mashur wilayatnya  yang bertemu dengan fakir ini dalam antara masa itu...’.

Pada  tahun  1661  M  Syeikh Abdurrauf  kembali ke Aceh. Setelah tinggal beberapa waktu di Banda Aceh ia mengadakan perjalanan  ke Singkel. Kemudian kembali ke Banda Aceh untuk  memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh Nuruddin ar-Raniri yang pergi menuju Mekkah.

Mengenai  pendapatnya tentang faham orang  lain nampaknya berbeda  dengan  Syeikh Nuruddin. Syeikh Abdurrauf tidak begitu keras. Hal ini dapat dilihat pada tulisan DR. T.  Iskandar: “Walaupun Abdurrauf termasuk penganut fahaman tua mengenai ajarannya dalam ilmu tasawuf, tetapi -berbeda dengan Nuruddin ar-Raniri, ia tidak begitu kejam terhadap mereka yang menganut fahaman lain. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir.

Membuat tuduhan seperti itu sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, apakah gunanya mensia-siakan perkataan atasnya dan sekiranya  ia  bukan  kafir, maka perkataan itu akan berbalik kepada dirinya  sendiri’.(‘Abdurrauf Singkel Tokoh Syatariah  (Abad  ke-17) (Dewan Bahasa, 95, Mei 1965).

Syeikh  Abdurrauf  menulis buku dalam  bahasa Melayu  dan Arab.  Bukunya  yang  terkenal   a.l., ‘Turjumanul   Mustafiid’, ‘Miraatut  Thullab’  (Kitab Ilmu Hukum), ‘Umdatul Muhtajin lla Suluki  Maslakil  Mufradin’ (Mengenai Ke Tuhanan  dan  Filsafat), ‘Bayan  Tajalli’ (Ilmu Tasawuf),  dan ‘Kifayat  al-Muhtajin’(Ilmu tasawuf). Seluruh karyanya diulis dalam bentuk prosa. Hanya satu yang ditulis dalam bentuk puisi yakni, ‘Syair Ma’rifat’.

Sebagai penyair sufi Syeikh Abdurrauf mempelihatkan kepiawaiannya  dalam  menulis  puisi ‘Syair Ma’rifat’ itulah. Salah satu naskah  syair ini disalin di Bukit Tinggi tahun 1859. Syair Ma’rifat  mengemukakan tentang empat komponen agama Islam. Yakni Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat.  Nampak dalam syair itu  unsur ma’rifat sebagai pengetahuan sufi yang menjadi puncak tertinggi. Dalam puisi itu Abdurrauf mencoba menjelaskan tentang pendekatan amalan tasawuf menurut aliran al-Sunnah wal al-Jamaah. Ikuti petikan syairnya dibawah ini,

jikalau diibarat
sebiji kelapa           
kulit dan isi tiada serupa           
janganlah kita bersalah sapa           
tetapi beza tiadalah berapa

sebiji kelapa
ibarat sama           
lafaznya empat suatu ma’ana           
di situlah banyak orang
terlena           
sebab pendapat kurang
sempurna 
kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat
tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma’rifat


(‘Syair Ma’rifat. Perpustakaan Universiti Leiden OPH. No.78, hlm. 9-25/ Dewan Bahasa dan Pustaka, Desember l992)

Tingkat ma’rifat merupakan tahap terakhir setelah melalui jenjang  syariat,  tarekat dan hakekat  dalam perjalanan menuju Allah. Untuk sampai ke tingkat ma’rifat menurut Syeikh Abdurrauf orang harus lebih dahulu menjalankan aspek syariat dan tarekat dengan  tertib. Orang harus melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas. Dalam kata-katanya sendiri Syeikh Abdurrauf berucap: “Dan sibukkanlah  dirimu  dalam ibadah dengan benar  dan ikhlas demi melaksanakan  hak Tuhanmu, niscaya engkau termasuk golongan ahli ma’rifat”.

Suasana  mistik  akan lebih terasa bila kita membaca dan mengikuti  puisinya dalam baris-baris berikut ini. Petikan  Syair Ma’rifat  dari tulisan Arab berbahasa Melayu, bertulisan tangan ini  dikutip dari ML. 378, halaman 40, terdapat di Perpustakaan Nasional RI. berbunyi sebagai berikut,

Airnya itu arak yang mabuk
siapa minum jadi tertunduk
airnya itu menjadi tuba
siapa minum menjadi gila

ombaknya itu amat gementam
baiklah bahtera sudahnya
karam
laut ini laut haqiqi
tiada bertengah tiada bertepi

Buku karya Syeikh Abdurrauf lainnya diberi judul ‘Kifayat al-Muhtajin’ disebut bahwa buku itu ditulisnya atas titah Tajul ‘Alam  Safiatuddin,  seorang Sultanah yang  mengayomi ulama dan sastrawan. Kitab ini berisi ilmu tasawuf.  Disebutkan  sebelum alam semesta ini dijadikan Allah, hanya ada wujud Allah.
Ulama besar dan pujangga Islam Syeikh Abdurrauf meninggal l695  M dalam usia 105 tahun. Di makamkan di Kuala, sungai Aceh, Banda Aceh.

0 comments:

Post a Comment