I. Pendahuluan
Hadis yang merupakan sumber ajaran
Islam nomer dua setelah al-Qur’an, telah dikaji semenjak masa awal Islam
hingga sekarang. Tidak hanya umat Islam sendiri yang tertarik, sarjana
nonMuslimpun – orientalis – tertarik untuk mengkajinya. Untuk
menjaganya, para ulama mulai mengumpulkan hadis-hadis yang “berceceran”
dan disatukan dalam kitab musnad, sunan dan mu’jam-mu’jam.
Di antara para ulama yang memberikan perannya dalam menjaga dan menulis
hadis adalah Imam Abu Zakariyā’ Yahyā
Ibn Syarifudin al-Nawāwī
(631-676 H), yang termasuk dalam jajaran ulama besar di abad ke-7
Hijriah. Beliau memiliki hasil karya yang banyak dan bermanfaat dalam
pembahasan yang beraneka ragam, karya-karya beliau telah mendapatkan
pujian dan sanjungan serta perhatian yang besar dari para ulama sehingga
mereka mempelajari, mengambil faedah dan menukil dari karya-karya
beliau tersebut.
Salah satu karya beliau yang cukup
populer adalah kitab Riyādhus
Shālihīn.
Hampir seluruh kaum muslimin di seluruh dunia mengkaji dan membaca kitab
al-Nawāwī
ini, tidak terkecuali Indonesia dengan pendidikan pondok pesantren-nya
juga ikut andil. Kitab ini cukup ringkas, tetapi isi kandungannya banyak
memberikan pelajaran, dan nasihat dari Rasulullah SAW.
Dalam makalah ini penulis
berusaha mendeskripskan sosok al-Nawawi dan Kitabnya tersebut, serta
segala hal-hal yang berkaitan dengannya, baik dari sejarah penulisan,
metode dan sistematika terhadap kitab tersebut. Dan tidak lupa pula
penulis mencoba meneliti seberapa besar penyebaran kitab tersebut dengan
meneropong penggunaan kita tersebut di beberapa pesantren Indonesia.
Sample yang diambil adalah pondok-pondok penerima PBSB (Program Beasiswa
Santri Berprestasi) UIN Sunan Kalijaga karena lebih mudah di akses dan
dirasa cukup mewakili bebeapa wilayah di Indonesia.
Sekilas Biografi Imam Al-Nawāwī
- Nama dan Nasab, tahun kelahiran dan wafatnya
Beliau adalah al-Imam Abu Zakariya’
Yahya Ibn Syarīfudin al-Nawāwī.[1]
Dilahirkan di sebuah perkampungan yang bernama “Nawa”
pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan ‘Nawa’ dari dua orang
tua yang shalih. Beliau dianggap sebagai syaīkh
(soko guru) di dalam madzhab Syafi’i. [2]
Seorang ulama ahli fiqih dan ahli hadis[3]
yang terkenal pada zamannya.
Ayahnya bernama Syaraf Ibn Murry
seorang pemilik toko di Nawa. Ibnu al-Athar, salah seorang murid setia
Imam Nawawī
memuji ayahnya sebagai syekh waliyullah yang zahīd dan wara’.
Pada tahun 649 H – saat berumur 18
tahun – ia bersama bapaknya menuju kota Damsyiq yang saat itu dikenal
sebagai pusat keilmuan dunia Islam. Babak baru hidupnya dirangkai di
kota ini. Ia memulai karirnya sebagai thalib al-ilmi,
beliau mendatangi syeikh Jamaluddin Abdul Kafi. Namun belum
secuilpun Nawawi mencicipi ilmunya, Jamaluddin malah menyarankan agar
Nawawi mengikuti halaqah mufti Syam, yang saat itu adalah syekh
al-Tāj al-Firkah yang tak
lama kemudian merekomendasikannya untuk belajar di madrasah Rawahiyyah
bersama syekh al-Kamal Ishāq
al-Maghribi.[4]
Kemudian pada tahun 660 H saat baru
berusia 30-an, beliau produktif di dalam menelurkan karya tulis. Beliau
telah berminat terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya. Dalam
karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam
mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam
kerangka berfikirnya serta keobjektifan-nya di dalam memaparkan
pendapat-pendapat Fuqaha‘. Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun,
beliau sudah menduduki posisi “Syaikh” di Dar al-Hadīs
dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat[5]
pada tanggal 24 Rajab 676 H dan dimakamkan di
Nawa sebagaimana permintaannya.[6]
- Pribadinya
Para ahli fiqih sepakat, bahwa Imam al-Nawāwī
adalah seorang yang ’alim, wara’[7],
zuhud, dhābit
dan bertaqwa.[8]
Karena kezuhudannya, beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat
tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di
dalam berpakaian dan bahkan beliau tidak sempat untuk menikah.
Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan
semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.
Di antara indikator kezuhudannya adalah
ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup
’seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour.
Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak
menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin
menghindarinya.
Sejak kecil, Imam an-Nawawi tidak suka
bermain sebagaimana layaknya anak kecil, beliau lebih suka mengaji
al-Qur’an daripada untuk bermain-main sehingga banyak anak-anak sebaya
yang membencinya. Dengan demikikan, maka ketika menginjak baligh, beliau
sudah hafal al-qur’an lengkap 30 juz.[9]
C. Guru-guru,
murid-murid dan karya-karyanya[10]:
1. Guru-gurunya
Di antara ulama’ yang menjadi gurunya
adalah; Syaīkh Abdul Azīz
Ibn Muhammad al-Anshariy, Zainudīn Abdul Daim, ‘Imadudīn
Ibn Abdul Karīm al-Khurasaniy, Zainuddīn
abi al-Baqa’ Khalīd IbnYusaf al-Miqdasiy al-Nabilsiyy,
Jamaluddin Ibn Abi Yasir, Syamsudin Ibn Abi Umar, dan lain-lain.
2. Murid-muridnya
Adapun murid-muridnya antara lain;
Shadruddīn Sulaiman al-Ja’fary, Syihabuddīn
al-Arbadiy, Syihabuddin Ibn Ja’wan, ‘Ilauddīn
al-‘Athar, Ibn Fath, al-Mazī, dan lain-lain.
3. Karya-karyanya
Imam al-Nawāwī
meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya
sekitar empat puluh kitab, diantaranya: Syarah Shāhih
Muslim, al-Irsyād, al-Taqrīb,
Tahdzīb al-Asma’ wa al-Lughāt,
al-Manāsik al-Sughrā,
al-Kubrā, Minhaj al-Thālibīn,
Bustān al-‘Arifin, Khulashāh
al-Ahkām fī
Mahmāt al-Sunan wa Qawāid
al-Islām, Raudhāh
al-Thālibīn
fi ‘Umdāh al-Muftin, Syarah al-Mahdzāb,
Riyādh al-Shālihin,
Hāliyyah al-Abrār
wa Syi’ār al-Ahyār fī
Talkhish al-Da’wat wa al-Adzkār,
al-Tibyān fī Adāb
Hamalāh al-Qur’ān,
dan lain-lain.
Karya-karya Imam al-Nawāwī terbagi 3 macam: 1. karya yang selesai
sempurna penulisannya, seperti: Syarh Muslim, al-Raudhāh, Riyadhus Shālihin, dll 2. karya yang belum selesai karena
beliau telah wafat lebih dulu, seperti: al-Majmu Syarh al-Muhadzāb, Syarh al-Wasith, Syarh al-Bukhāri, dll 3. karya yang dihapus karena
alasan-alasan tertentu.[11]
II. Mengenal Kitab Riyādh
al-Shālihīn
- Setting Sosio-Historis Penulisan Kitab
Pada tahun 1265 M, setelah mengalahkan
bangsa Tartar di Syam, Al-Zahir Baybars I atau Rukn al-Din Abu al-Futuh
Baybars al-Turky, seorang raja koptik mesir keturunan Turki meminta
fatwa dari ulama-ulama Syam agar diperbolehkan mengambil harta dari
baitul mal atas usaha mereka meluluhlantakkan bangsa Tartar yang selama
ini menguasai Syam. Dengan iming-iming harta atau juga karena takut,
sebagian ulama Syam memberikan fatwanya dan sebagian lagi dibunuh karena
menolak memberikan persetujuannya.
Dari seluruh ulama Syam, hanya tinggal
seorang lagi yang belum dipanggil memberikan fatwanya. Setelah
dipanggil, ulama ini datang dengan tubuh kurus dan pakaian yang jauh
dari kesan mewah. Namun saat diminta fatwanya,
dengan tegas ulama tadi menolak karena menurut beliau, dalam teks fatwa
buatan raja Baybars I hanya berisi kedzaliman. Maka semakin hebatlah
kemarahan raja Baybars I. Lalu dengan digdayanya, dia meminta
pembesar-pembesar kerajaannya untuk mencopot ulama tadi dari segala
pekerjaannya. Lagi-lagi nihil, karena ulama tadi tak memiliki pekerjaan
apa-apa. Namun raja Baybars I tidak membunuhnya, bahkan beliau
membebaskannya dengan mengusirnya keluar dari Syam. Pembesar-pembesarnya
pun tergoda untuk bertanya: “Ajaib sekali kau tak membunuhnya, padahal
kau telah melakukannya pada ulama-ulama lain yang menolak titahmu?”.
Dengan gemetar dan nada ketakutan raja Baybars I menjawab, “Aku melihat
dua binatang pemangsa (predators) keluar dari balik pundaknya dan ingin
menerkamku, maka aku urung membunuhnya”.
Di kemudian hari sejarah mencatat ulama
yang selamat dari pembunuhan tadi tidak lain adalah al-Imam Nawawī.[12] Jika menilik cerita di atas, maka bisa
disimpulkan bahwa al-Nawāwī
hidup di akhir masa dinasti Ayyubiyyah dan pada masa raja Barbarys I
(1260-1277M) salah seorang keturunan raja-jaja koptik Mesir. Dan pada
masanya juga, bisa dikatakan bahwa keilmuan Islam sedang menuju
klimaksnya, karena pada abad-7 H, telah muncul dan tersebar ulama-ulama
besar Islam yang masyhur di bidangnya, seperti: Ibnu Sholah (muhaddis),
Al-Rofi’i (ulama besar fiqh Syafi’i), Ibnu an-Nadhim (sejarawan),
Muhyiddin ibnu Arobi (sufi), dll. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa al-Nawāwī juga banyak memberikan kontribusi
keilmuan melalui karyanya Riyādh
al-Shālihīn sebagai petunjuk menuju kepada
kesalehan hati bagi yang menginginkannya.
- Sistematika Kitab
Sistematika yang disusun oleh al-Nawāwī
dengan sangat sistematis. Kitab ini terdiri dari 1 Juz 18 kitab, 372
bab dan 1897[13]
hadis. Hadis-hadis dikelompokkan ke dalam bab-bab berdasarkan tema
utama, misalnya shalat, zakat, jihad, doa, Qur’an, dan sebagainya.
Beliau membuka bab-babnya dengan menyebut ayat-ayat dari al-Quran yang
sesuai dengan pembahasan hadis yang lalu membuat tertib dan bab yang
saling berhubungan.[14]
Secara rinci sistematika kitab Riyādh
al-Shālihīn
dapat dilihat sebagai berikut:[15]
- Khutbah al-kitab terdiri atas 78 bab
- Kitab al-Adab, terdiri atas 16 bab
- Kitab Adab al-Tha’ăm, terdiri atas 17 bab
- Kitab al-Libas, terdiri atas 10 bab
- Kitab Adab al-Naum wa al-Idhthijah, terdiri atas 3 bab
- Kitab al-Salam, terdiri atas 13 bab
- Kitab ’Iyadat al-Maridh wa Tasyyit al-Mayyit, terdiri atas 21 bab
- Kitab al-Safar, terdiri atas 14 bab
- Kitab al-Fadhail, terdiri atass 52 bab
- Kitab al-I’tikaf, terdiri atas 1 bab
- Kitab al-Hajj, terdiri atas 1 bab
- Kitab al-Jihad, terdiri atas 6 bab
- Kitab al-‘Ilm, terdiri atas 1 bab
- Kitab al-Shalah ’Ala Rasulillah Saw., terdiri atas 1 bab
- Kitab al-Adzkar, terdiri atas 6 bab
- Kitab al-Da’awat, terdiri atas 3 bab
- Kitab al-Umur al-Man’ha ‘Anha, terdiri atas 126 bab
- Kitab al-Mantsurat wa al-Mullah, terdiri atas 1 bab
- Kitab al-Istighfar, terdiri atas 1 bab.
- Metode Kitab dan Kualitas Hadis-hadisnya
Dalam menyusun kitabnya, al-Nawāwī
menempuh metode yang baik. Yakni dengan mencantumkan ayat-ayat
al-Qur’an kemudian menghimpun matan-matan hadis yang senada atau setema
dalam menjelaskan tema yang diusung. Terkadang menyebutkan
kualitas-kualitas hadis menurut periwayat yang lain. Dan memberikan
sedikit keterangan dalam catatan kaki.
Dalam penjelasan kitabnya disebutkan
dalil hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu
Dawud, Nasa’i. Namun periwayat hadis yang lebih mendominasi adalah dari
riwayat Muttafaq ‘Alaih. Ini dikarenakan beliau telah menilai
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim bernilai shahih.
Hal ini juga dapat diketahui ketika beliau meriwayatkan suatu hadis
selain dari Bukhari atau Muslim, maka dalam penjelasannya dijelaskan
karena hadis tersebut telah dishahihkan menurut syarat Muttafaq ’Alaih
dilihat dari segi sanad atau matannya.
Contoh hadis dalam kitab Riyadhus
Shalihin no. 4 hlm. 153:
وَعَن
أبى عَلِيٍّ رضي الله عنه أنّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قال: إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ
وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّور. رواه التومذي.س حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Oleh Imam al-Nawāwī dalam kitabnya, disebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadis hasan. Namun setelah dilakukan pengecekan hadis dalam Maushu’ah Hadis al-Syarif: redaksi hadisnya adalah:[16]
حَدَّثَنَا
هَنَّادٌ حَدَّثَنَا مُلَازِمُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ بَدْرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ عَنْ أَبِيهِ طَلْقِ بْنِ
عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ
عَلَى التَّنُّورِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ.
Ditemukan bahwa ada pendapat menurut abu Isa (Tirmidzi) bahwa hadis ini hasan gharib. Dan jika dilihat dari segi kuantitasnya hadis ini termasuk gharib karena diriwayatkan oleh 1 orang perawi.
al-Nawāwī
menganggap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim adalah
shahih. Namun al-Albani berbeda pendapat, beliau tidak serta merta
menganggap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
semuanya shahih. Namun masih harus dilakukan penelitian ulang terhadap
hadis-hadisnya.
Al-Albani secara tidak langsung
melakukan kritik terhadap hadis-hadis dalam Riyadhus Shalihin. Ini
terbukti beliau menelurkan karyanya yang berjudul “Hadis-hadis Dha’īf
dalam Riyādh
al-Shālihīn”.
Beliau menegaskan bahwa hadis-hadis yang dipakai dalam kitab tersebut
tidak semuanya shahih, masih banyak hadis yang dha’īf
yang digunakan dalam kitab tersebut. Sebagaimana contoh hadis
berkualitas dha’īf
dalam bab muqarrabah, Riyādh
al-Shālihīn
menurut al-Albani:
Dari Abu Ya'la Syaddad bin Aus RA
mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda:
الكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ
المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ الاَمَانِيَّ.
“Orang yang sempurna akalnya ialah yang mengoreksi dirinya dan bersedia beramal sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang rendah ialah yang selalu menurutkan hawa nafsunya. Disamping itu, ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah”. (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadis ini hasan).
Keterangan dari al-Albani:
Hadis ini sanadnya dha’īf,
karena ada seorang perawi bernama Abu Bakar Ibnu Abi Maryam; dia kacau
hafalannya setelah rumahnya kecurian.
Selanjutnya Adz-Dzahabi menolak dan
mengkritiknya, dengan berkata, "Demi Allah, Abu Bakar adalah orang yang
suka menduga-duga dalam meriwayatkan hadis. Ada Syahid untuk hadis
tersebut dari Anas RA, yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'b
al-Iman, tetapi beliau berkata, "Tetapi dalam sanad hadis ini ada
perawi bemama Aun bin Ammarah, dia orang yang dhaif dalam
periwayatannya." (Lihat kitab Silsilah Ahadīs
Al-Dha’īfah hadis no. 5319; Dha’īf
al- Jami' al-Shaghir no. 4305; al-Misykah no.
5289; Dha’īf Sunan At-Tirmidzi
hadis no. 436; Dha'if Sunan Ibnu Majah hadits no. 930; al-Misykah hadis
no. 5289; Bahjatun-Nazhirin hadits no. 66 oleh Syaikh Sahm bin
Id Al Hilali; Takhrij Riyādh
al-Shālihīn
hadis no. 66 oleh Syaikh Syu'aib Al Arnauth).
III. Kitab Riyādh
al-Shālihīn
dan Pesantren
Kitab ini merupakan salah satu kitab
yang dipakai dalam pembelajaran di pondok-pondok pesantren, baik untuk
pendidikan formal maupun non-formal. Namun, tidak seluruh pondok
pesantren di Indonesia menggunakan kitab tersebut. Penulis belum
mendapatkan data tentang siapa yang pertama kali membawa dan mengajarkan
kitab ini di Indonesia. Untuk membuktikan hal itu penulis melakukan
penelitian “kecil-kecilan” dengan melihat sejauh mana pemakaian kitab
tersebut di beberapa pondok pesantren. Penulis meneliti 43 pondok
pesantren dengan menggunakan metode acak dan dirasa cukup
mewakili pesantren-pesantren penerima PBSB UIN Sunan Kalijaga.
PEMBELAJARAN KITAB RIYADH AL-SHALIHIN
DI BEBERAPA PESANTREN PENERIMA PBSB
Kategori: Jenis Pondok Pesantren
PESANTREN MODERN
No
|
Nama Pesantren
|
Daerah/Kota
|
Pembelajaran
|
Waktu
|
01
|
Darussalam
|
Ciamis, Jawa Barat
|
Ya (3 MTs)
|
Ba’da Ashar
|
02
|
Rasyidiyah Khalidiyah
|
Amuntai, Kalsel
|
Ya
|
1-3 MA
|
03
|
Miftahul Ulum al-Yasini
|
Pasuruan, jatim
|
Ya
|
Ba’da Subuh
|
04
|
Mu’allimin
|
Yogyakarta
|
Ya
|
Ba’da Maghrib
|
05
|
Al-Islam
|
Nganjuk, Jatim
|
Ya
|
Ramadhan
|
06
|
Al-Basyariyah
|
Bandung
|
Tidak
| |
07
|
Assalam
|
Cibodas, Sukabumi
|
Tidak
| |
08
|
Darul Mujahadah
|
Tegal, Jateng
|
Tidak
| |
09
|
Diponogoro
|
Klungkung, Bali
|
Tidak
| |
10
|
Madrasah Ulumul Qur’an
|
Langsa Timur, Aceh
|
Tidak
| |
11
|
Al-Islah
|
Paciran, Lamongan
|
Tidak
| |
12
|
Al Hikmah
|
Gunung Kidul
|
Tidak
| |
13
|
Ta’mirul Islam
|
Solo, Jateng
|
Tidak
| |
14
|
Sumatera Towalib
|
Parabek, Sumbar
|
Tidak
| |
15
|
An Nur
|
Jambi
|
Tidak
| |
16
|
Ushuluddin
|
Lampung Selatan
|
Tidak
|
PESANTREN SALAF
No
|
Nama Pesantren
|
Daerah/Kota
|
Pembelajaran
|
Waktu
|
01
|
Sunan Pandanaran
|
Yogyakarta
|
Ya
|
Diniyah
|
02
|
Perguruan KH. Z. Musthafa
|
Tasikmalaya
|
Ya (2 MA)
| |
03
|
Ahmada Al Hikmah
|
Kediri, Jatim
|
Ya
|
Ba’da Isya
|
04
|
Al-Ishlah
|
Bungah, Kediri
|
Tidak
| |
05
|
Matholi’ul Huda
|
Jepara, Jateng
|
Tidak
| |
06
|
Bintang Sembilan
|
Jember, Jatim
|
Tidak
| |
07
|
Darul Faizin Assalafiyah
|
Jombang, Jatim
|
Tidak
| |
08
|
Musthawafiyah
|
Medan, Sumut
|
Ya
|
PESANTREN SEMI SALAF-MODERN
No
|
Nama Pesantren
|
Daerah/Kota
|
Pembelajaran
|
Waktu
|
01
|
At-Tanwir
|
Bojonegoro, Jatim
|
Ya (mulai 2 MA)
| |
02
|
Tarbiyatut Thalabah
|
Lamongan, Jatim
|
Ya
|
Ramadhan
|
03
|
Darul Ulum
|
Kulon Progo, Yogyakarta
|
Ya
|
Ba’da magrib
|
04
|
Ma’had Almu’awanah
|
Pandeglang, Banten
|
Ya (di kelas)
|
1x seminggu
|
05
|
Darul Ma’wa
|
Demak, Jateng
|
Ya (3 MTs-3 MA)
| |
06
|
Mamba’ul Ma’arif
|
Jombang, Jatim
|
Ya
|
Ba’da Isya
|
07
|
Ar Riyadz
|
Tabanan, Bali
|
Ya
|
Ba’da Ashar
|
08
|
Al Mubarok
|
Demak Jateng
|
Ya
|
Ba’da Subuh
|
09
|
Al-Hikmah 2
|
Brebes, Jateng
|
Ya
|
Aliyah
|
10
|
An-Nur
|
Malang, Jatim
|
Ya (MA)
| |
11
|
Darus Sholah
|
Jember, Jatim
|
Ya
| |
12
|
Al Islam
|
Kemuja, Bangka
|
Tidak
| |
13
|
Nurul Ulum
|
Trenggalek, Jatim
|
Tidak
| |
14
|
Al-Anwar
|
Jombang, Jatim
|
Tidak
| |
15
|
Persis no.91
|
Tasikmalaya, Jabar
|
Tidak
| |
16
|
Al Ittfaqiah
|
Indralaya, Sumsel
|
Tidak
| |
17
|
Al Ghozali Bahrul Ulum
|
Jombang, Jatim
|
Tidak
| |
18
|
Darul Kamal
|
NTB
|
Tidak
| |
19
|
Ma’had Hadis Biru
|
Sulsel
|
Tidak
|
Dari 43 pesantren yang menjadi objek
penelitian, 20 pondok pesantren menggunakan kita tersebut dan sisanya –
sebanyak 23 pondok pesantren – mengaku tidak menggunaknnya. Dan terlihat
bahwa yang banyak menggunakan kitab tersebut adalah pondok-pondok semi
modern-salaf. Selain itu, penulis juga mengklasifikasikannya ke dalam 3
regional; Sumatera, Pulau Jawa dan non Sumatera-Jawa. Hal ini untuk
mempermudah melihat penyebaran pengajaran kitab tersebut.
PEMBELAJARAN KITAB RIYADH AL-SHALIHIN
DI BEBERAPA PESANTREN PENERIMA PBSB
Kategori: Regional
SUMATERA
No
|
Nama Pesantren
|
Daerah/kota
|
Pembelajaran
|
Waktu
|
01
|
Madrasah Ulumul Qur’an
|
Langsa Timur, Aceh
|
Tidak
| |
02
|
Sumatera Towalib
|
Parabek, Sumbar
|
Tidak
| |
03
|
Al Islam
|
Kemuja, Bangka
|
Tidak
| |
04
|
Al Ittfaqiah
|
Indralaya, Sumsel
|
Tidak
| |
05
|
An Nur
|
Jambi
|
Tidak
| |
06
|
Ushuluddin
|
Lampung Selatan
|
Tidak
| |
07
|
Musthawafiyah
|
Medan
|
Ya
|
JAWA BARAT-BANTEN
No
|
Nama Pesantren
|
Daerah/kota
|
Pembelajaran
|
Waktu
|
01
|
Darussalam
|
Ciamis, Jawa Barat
|
Ya (3 MTs)
|
Ba’da Ashar
|
02
|
Al Basyariyah
|
Bandung
|
Tidak
| |
03
|
Assalam
|
Cibodas, Sukabumi
|
Tidak
| |
04
|
Perguruan KH. Z. Musthafa
|
Tasikmalaya
|
Ya (2 MA)
| |
05
|
Ma’had Al Mu’awanah
|
Pandeglang, Banten
|
Ya (di kelas)
|
1x seminggu
|
06
|
Persis no.91
|
Tasikmalaya
|
Tidak
|
JAWA TENGAH-YOGYAKARTA
No
|
Nama Pesantren
|
Daerah/kota
|
Pembelajaran
|
Waktu
|
01
|
Darul Mujahadah
|
Tegal, Jateng
|
Tidak
| |
02
|
Mu’allimin
|
Yogyakarta
|
Ya
|
Ba’da maghrib
|
03
|
Al Hikmah
|
Gunung Kidul
|
Tidak
| |
04
|
Ta’mirul Islam
|
Solo, Jateng
|
Tidak
| |
05
|
Sunan Pandanaran
|
Yogyakarta
|
Ya
|
Diniyah
|
06
|
Matholi’ul Huda
|
Jepara, Jateng
|
Tidak
| |
07
|
Darul Ulum
|
Kulon Progo
|
Ya
|
Ba’da magrib
|
08
|
Darul Ma’wa
|
Demak, Jateng
|
Ya (3 MTs-3 MA)
| |
09
|
Al Mubarok
|
Demak Jateng
|
Ya
|
Ba’da sbuh
|
10
|
Al Hikmah 2
|
Brebes, Jateng
|
Ya
|
Aliyah
|
JAWA TIMUR
No
|
Nama Pesantren
|
Daerah/kota
|
Pembelajaran
|
Waktu
|
01
|
Miftahul Ulum Al Yasini
|
Pasuruan, jatim
|
Ya
|
Ba’da subuh
|
02
|
Al Islah
|
Paciran, Lamongan
|
Tidak
| |
03
|
Al Islam
|
Nganjuk, Jatim
|
Ya
| |
04
|
Al Ishlah
|
Bungah, Kediri
|
Tidak
| |
05
|
Bintang Sembilan
|
Jember, Jatim
|
Tidak
| |
06
|
Darul Faizin Assalafiyah
|
Jombang, Jatim
|
Tidak
| |
07
|
At Tanwir
|
Bojonegoro, Jatim
|
Ya (mulai 2 MA)
| |
08
|
Tarbiyatut Tholabah
|
Lamongan, Jatim
|
Ya
|
Ramadhan
|
09
|
Nurul Ulum
|
Trenggalek, Jatim
|
Tidak
| |
10
|
Al Anwar
|
Jombang, Jatim
|
Tidak
| |
11
|
Mamba’ul Ma’arif
|
Jombang, Jatim
|
Ya
|
Ba’da isya
|
12
|
An Nur
|
Malang, Jatim
|
Ya (MA)
| |
13
|
Darus Sholah
|
Jember, Jatim
|
Ya
| |
14
|
Al Ghozali Bahrul Ulum
|
Jombang, Jatim
|
Tidak
| |
15
|
Ahmada Al Hikmah
|
Kediri, Jatim
|
Ya
|
Ba’da Isya
|
NON SUMATERA-JAWA
No
|
Nama Pesantren
|
Daerah/kota
|
Pembelajaran
|
Waktu
|
01
|
Diponogoro
|
Klungkung, Bali
|
Tidak
| |
02
|
Ar Riyadz
|
Tabanan, Bali
|
Ya
|
Ba’da Ashar
|
03
|
Darul Kamal
|
NTB
|
Tidak
| |
04
|
Rasyidiyah Khalidiyah
|
Amuntai, Kalsel
|
Ya
|
1-3 MA
|
05
|
Ma’had Hadis Biru
|
Sulsel
|
tidak
|
Dari
tabel di atas dapat dilihat bahwa di regional Sumatera sangat jarang
menggunakan kitab tersebut. Begitu pula dengan regional non
Sumatera-Jawa dengan perbandingan 2:3. Sedangkan untuk regional Jawa, 17
pondok pesantren menggunakannya dan 14 pondok pesantren menyatakan
tidak.
IV. Simpulan
Dari uraian singkat di atas, penulis
menyimpulkan:
1. Kitab Riyādh
al-Shālihīn
termasuk kitab hadis yang memuat berbagai hadis nabi yang mayoritas
kualitasnya shahih.
2. Kitab ini merupakan
salah satu kitab “favorit” yang diajarkan di pendidikan pondok
pesantren, terutama yang bergenre semi Modern-Salaf dan di pulau
Jawa.
3. Pesantren-pesantren
Sumatera termasuk yang jarang menggunakan kitab tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Syarah Riyādh
al-Shālihīn,
(Surabaya: PT Bina Ilmu), 1993.
CD
ROM al-Hadis al-Syārif
1991-1997, VCR II, Global Islamic Sofware Company/ Syirkah al-Baramij
al-Islamiyyah al-Dauliyyah.
DVD
al-Maktabah al- Syāmilah.
Munir,
Abu Zuhdi. Hadis-Hadis Dha’if dalam Riyādh
al-Shālihīn.
Pustaka Azam. tt.
Yahya,
Abu Zakaria. Riyādh
al-Shālihīn,
Indonesia: al-Haramain Jaya Indo, tt.
__________Al-Tibyān fi Adāb Hamalāt al-Qur’ān. Jakarta: Dar al-Hikmah, tt.
Http://www.ummah.com
Diakses tanggal 15 April, 2011.
Http://hikmah.sitesled.com. Diakses tanggal 15 April 2011.
Http://www.coptichistory.org
Diakses tanggal 27 April 2011.
Http://forum.nu.or.id/viewtopic.php?f=5&t=626&start=0 Diakses tanggal 6 Mei 2011.
[1] Abu Zakaria Yahyā bin Syarāf al-Dīn al-Nawawī al-Syafi’ī. Riyadhus Shālihīn, (Indonesia :
al-Haramain Jaya Indonesia
), hal. 3
[2] Kata ‘al-Nawawī’
dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’ tersebut,
yakni salah satu perkampungan di Damaskus, Syiria, tempat kelahiran
beliau.
[3] Abu
Zakaria Yahya bin Syaraf al-Din al- Nawawī al-Syafi’i. Al-Tibyan fi
Adab Hamalat al-Qur’an. (Jakarta: Dar al-Hikmah), dalam biografi
pengarang kitab.
[4] Http://www.ummah.com. Diakses tanggal 15 April, 2011
[5] Http://hikmah.sitesled.com.
Diakses tanggal 15 April 2011
[6] Abu
Zakaria Yahya bin Syaraf al-Din al- Nawawī al-Syafi’i. Al-Tibyan fi
Adab Hamalat al-Qur’an... hlm. 4
[7]
Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan
buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah
dan kebun-kebunnya di sana. Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar
al-Hadīs, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi
tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan
menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya,
beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar
al-Hadīs. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke
perpustakaan Madrasah. Beliau tidak pernah mau menerima
hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali
dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok
yang sudah beliau percayai diennya. Beliau juga tidak mau menerima
sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu
mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu
mengirimkan makanan untuknya. Ketika berada di al-Madrasah
ar-Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan
untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan
fasilitas yang lebih dari itu.
[8] Abu Zakaria Yahyā bin Syarāf al-Dīn al-Nawawī al-Syafi’ī. al-Tibyān fī Adāb Hamalāh al-Qur’ān. (Jakarta: Dar al-Hikmah), hlm. 5
[9] Pengantar al-Hasaini A’bul Madjid Hasyim. Syarah Riyadhus Shālihīn,
(Surabaya: PT Bina Ilmu), 1993
[10]Abu
Zakaria Yahyā bin Syarāf al-Dīn al-Nawawī
al-Syafi’ī. al-Tibyān fī Adāb Hamalāh al-Qur’ān, … Hlm. 3-4
[11] Abdul ghani ad-Daqr,
al-Imam al-Nawawi. Syaikh al-Islam wa al-Muslimin, wa ‘Umdah
al-Fuqaha' wa al-Muhadditsin, Daar el-Qalam press, Damsyiq, cet.5
1426/2005
[12] http://www.coptichistory.org diakses tanggal 27 April 2011
[13] Jumlah berdasarkan kitab primer, sedangkan dalam
al-Maktabah al-Syamilah terdapat 17 kitab, karena pada bagian kitab al-Mantsurat
dan al-mulah dan kitab istighfar dalam al-Maktabah
al-Syamilah menjadi satu bab, yakni terdapat dalam kitab al-umur
al-manha ‘anha, ada juga yang menyebutkan bahwa kitab ini terdiri
dari 17 kitab, 265 bab dan 1897 hadis. (Lihat Muqaddimah Syarhu
Riyadhush Shalihin karya: Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, oleh:
Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thoyaar, cetakan pertama
tahun 1415/1995).
[14](Lihat Muqaddimah Syarhu Riyadhush Shalihin,
karya: Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, oleh: Prof. Dr. Abdullah
bin Muhammad bin Ahmad ath-Thoyaar, cetakan pertama tahun 1415/1995).
[15]Lihat Abu Zakaria Yahyā bin Syarāf al-Dīn
al-Nawawī al-Syafi’ī.
Riyadhus Shālihīn, (Indonesia :
al-Haramain Jaya Indonesia
). Hlm.711-718
[16] Lihat Hadis Riwayat al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi,
Kitāb al-Radha’, Bāb Ma Jaa fi al-Zauj al –Mar’ah, No.1080, CD Mausū’ah
al-Hadīś al Syarīf, Global Islam Software, 1991-1997
0 comments:
Post a Comment