Pembibitan anak itu seperti produksi barang mentah menjadi barang jadi.
Dampak proses characer building anak ke depan dipengaruhi
berbagai aspek; aspek keluarga, sosial kemasyarakatan, ekonomi,( dst…)
dan aspek sosial berpengaruh besar pada output
characterbuilding. Konstruksi definif ini, aspek
lingkungan kemasyarakatan dan media yang paling mendominasi pendidikan
anak, bahkan dalam habitat manusia.
Satu hal yang sering terlupakan
adalah faktor pembibitan. Kalau kwalitas bibit sangat baik atau unggul,
maka kelolaan bahan jadinya tidak mudah terpengaruh oleh virus atau
bakteri sosial. Dari sekian banyak faktor pembibitan yang mendekati
‘kesempurnaan’ bisa diteropong melalui perilaku jimak
(bersetubuh) suami istri selaras dengan etika jimak Islami (Sexologi
hukum jima’). Satu diantara itu, upayakan tidak telanjang bulat dan
tidak melihat vagina atau ruang vagina istri. Memang tidak
ada survey membuktikan, bagaimana pasutri (pasangan suami
istri) itu melakukan adegan intim dengan atau tanpa melihat vagina atau
telanjang bulat. Hanya pelaku yang bisa menilai diri masing-masing.
Etika tersebut, dalam satu hadits
yang tertulis di Kitab Qurrotul ‘Uyun (juga
pernah saya kutib dalam buku saya yang berjudul “Risalah Hukum Jima’
Menurut Sexologi Islam, 1996,” buku saya ini termasuk kategari laris
manis,lo ! maaf dikit promosi, tp kyknya di psr dah nggak ada),
ada hadits Rasulullah Saw mempertanyakan perihal ini.
Ada seorang wanita datang kepada sayyidah
Aisyah istri Rasulullah Saw. Wanita itu bertanya, “Bagaimana caranya
Rasulullah Saw bersetubuh ?”
Aisyah ra. menjawab, “Dia tidak melihat
punyaku, dan akupun tidak melihat miliknya.”
Maksud dari punyaku atau miliknya
adalah alat kelamin masing-masing.
Penjelasan kitab tersebut, jika
pasutri suka melihat alat kelamin pasangannya (lebih-lebih ruang vagina
istri) maka kajian metafisis-geneologisnya, kelak anaknya akan menjadi
anak yang kurang berperasaan kurang berterika, kurang “tepo seliro,” dan
lain-lain seperti saling menghargai antar sesama.
Bahkan pengalaman orang-orang
zaman dulu, kebiasaan melihat ruang vagina istri bisa menyebabkan
kebutaan.
“Melihat ke dalam ruang faraj —vagina—bisa
merusak mata. Mengenai hal tersebut bahwa Sultan Hasan bin Ishaq (Raja
Damaskus) memiliki kebiasaan suka melihat ruang faraj istrinya.
Kebiasaan jelek ini, kemudian dinasehati oleh orang lain. Namun ia
semakin marah, dan menjawab, ‘Apakah ada kenikmatan lain yang melebihi
kebiasaan ini ?’ Akhirnya, Raja Damaskus itu buta.” (The
perfumed garden / Syekh Nefzawi)
Pemikiran kemodernan dalam kajian
ini —maksude, buku yang tadi—sesungguhnya tidak hanya buta
mata. Okelah, bisa jadi demikian. Akan tetapi dampak nyata sekaligus
dalam bukti sosial adalah “buta Hati,” artinya anak-anak yang dihasilkan
melalui proses pembibitan seperti itu kelak menghasilkan character
building seorang anak yang buta mata hatinya, atau pelaku yang
sekarangpun secara metarelegius, hatinya mudah sekali kotor. Perspektif
selanjutnya, jika hati (cermin) itu kotor, maka sulit sekali cermin
menerima cahaya (petunjuk ilahiyat) dari yang Maha Kuasa.
Hati memiliki mata, disebut
indera keenam. Indera keenam berkaitan dengan naluri atau insting, dan
menjadi satu kesatuan kepribadian. Dan faktor-faktor penunjang kebuataan
mata hati ribuan bahkan jutaan bagaimana seseorang tidak atau memiliki
mata hati yang buta. “SEXOLOGI ISLAM ; Ekses Melihat Ruang Vagina,”
hanya bagian kecil dari perihal keagamaan yang terindikasi ke sana,
yakni buta mata hati. Ada penyakit yang menempel dalam nafsu “greget”
yang menempel dan mengias dalam qolb manusia.
(Hhem…Hhem…. ! Dikit serius, gak apalah ! “Berkali-kali
kata temen saya, juga boleh !)
0 comments:
Post a Comment