Pages

Monday, May 18, 2015

Sexologi Islam; Ekses Melihat Ruang Vagina Istri

Pembibitan anak itu seperti produksi barang mentah menjadi barang jadi. Dampak proses characer building anak ke depan dipengaruhi berbagai aspek; aspek keluarga, sosial kemasyarakatan, ekonomi,( dst…) dan aspek sosial berpengaruh besar pada output characterbuilding. Konstruksi definif ini, aspek lingkungan kemasyarakatan dan media yang paling mendominasi pendidikan anak, bahkan dalam habitat manusia.
Satu hal yang sering terlupakan adalah faktor pembibitan. Kalau kwalitas bibit sangat baik atau unggul, maka kelolaan bahan jadinya tidak mudah terpengaruh oleh virus atau bakteri sosial. Dari sekian banyak faktor pembibitan yang mendekati ‘kesempurnaan’ bisa diteropong melalui perilaku jimak (bersetubuh) suami istri selaras dengan etika jimak Islami (Sexologi hukum jima’). Satu diantara itu, upayakan tidak telanjang bulat dan tidak melihat vagina atau ruang vagina istri. Memang tidak ada survey membuktikan, bagaimana pasutri (pasangan suami istri) itu melakukan adegan intim dengan atau tanpa melihat vagina atau telanjang bulat. Hanya pelaku yang bisa menilai diri masing-masing.
Etika tersebut, dalam satu hadits yang tertulis di Kitab Qurrotul ‘Uyun (juga pernah saya kutib dalam buku saya yang berjudul “Risalah Hukum Jima’ Menurut Sexologi Islam, 1996,” buku saya ini termasuk kategari laris manis,lo ! maaf dikit promosi, tp kyknya di psr dah nggak ada), ada hadits Rasulullah Saw mempertanyakan perihal ini.
Ada seorang wanita datang kepada sayyidah Aisyah istri Rasulullah Saw. Wanita itu bertanya, “Bagaimana caranya Rasulullah Saw bersetubuh ?”
Aisyah ra. menjawab, “Dia tidak melihat punyaku, dan akupun tidak melihat miliknya.”
Maksud dari punyaku atau miliknya adalah alat kelamin masing-masing.
Penjelasan kitab tersebut, jika pasutri suka melihat alat kelamin pasangannya (lebih-lebih ruang vagina istri) maka kajian metafisis-geneologisnya, kelak anaknya akan menjadi anak yang kurang berperasaan kurang berterika, kurang “tepo seliro,” dan lain-lain seperti saling menghargai antar sesama.
Bahkan pengalaman orang-orang zaman dulu, kebiasaan melihat ruang vagina istri bisa menyebabkan kebutaan.
“Melihat ke dalam ruang faraj —vagina—bisa merusak mata. Mengenai hal tersebut bahwa Sultan Hasan bin Ishaq (Raja Damaskus) memiliki kebiasaan suka melihat ruang faraj istrinya. Kebiasaan jelek ini, kemudian dinasehati oleh orang lain. Namun ia semakin marah, dan menjawab, ‘Apakah ada kenikmatan lain yang melebihi kebiasaan ini ?’ Akhirnya, Raja Damaskus itu buta.” (The perfumed garden / Syekh Nefzawi)
Pemikiran kemodernan dalam kajian ini —maksude, buku yang tadi—sesungguhnya tidak hanya buta mata. Okelah, bisa jadi demikian. Akan tetapi dampak nyata sekaligus dalam bukti sosial adalah “buta Hati,” artinya anak-anak yang dihasilkan melalui proses pembibitan seperti itu kelak menghasilkan character building seorang anak yang buta mata hatinya, atau pelaku yang sekarangpun secara metarelegius, hatinya mudah sekali kotor. Perspektif selanjutnya, jika hati (cermin) itu kotor, maka sulit sekali cermin menerima cahaya (petunjuk ilahiyat) dari yang Maha Kuasa.
Hati memiliki mata, disebut indera keenam. Indera keenam berkaitan dengan naluri atau insting, dan menjadi satu kesatuan kepribadian. Dan faktor-faktor penunjang kebuataan mata hati ribuan bahkan jutaan bagaimana seseorang tidak atau memiliki mata hati yang buta. “SEXOLOGI ISLAM ; Ekses Melihat Ruang Vagina,” hanya bagian kecil dari perihal keagamaan yang terindikasi ke sana, yakni buta mata hati. Ada penyakit yang menempel dalam nafsu “greget” yang menempel dan mengias dalam qolb manusia.
(Hhem…Hhem…. ! Dikit serius, gak apalah ! “Berkali-kali kata temen saya, juga boleh !)

0 comments:

Post a Comment